Oleh; Pahmi.Sy
Pemilihan Umum yang akan di gelar 14 Februari 2024 akan memberikan ruang pada peserta pemilu untuk berkampanye mulai tanggal 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Salah satu fasilitas yang diperbolehkan adalah menggunakan tempat Pendidikan yaitu kampus pada hari sabtu dan ahad dengan metode kampanye; pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka, sementara bentuk kampanye lainnya tidak dibolehkan. Pelaksanaan kampanye di kampus harus mendapatkan izin dari rektor atau jabatan sederajat, kemudian kegiatan kampanye hanya boleh diikuti oleh sivitas akademika. Pemanfaatan kampus sebagai wadah bagi peserta pemilu baik bagi calon legislative dari partai politik, calon perseorang Dewan Perwakilan Daerah dan Calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan ruang yang positif untuk menyampaikan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.
Keteribatan kampus atau Perguruan Tinggi dalam pemilu terlihat pada pemilu di awal era reformasi 1999, seperti University Network for Free Election (UNFREL) dan Forum Rektor. Keterilibatan dalam proses pemantauan pemilu, seperti UNFREL, adalah jaringan pemantau pemilu yang diiniiasi oleh jaringan dosen dan mahasiswa seluruh Indonesia. UNFREL, Lewat jaringan ini, 100 ribu relawan di 22 dari 27 provinsi memantau tahapan-tahapan Pemilu 1999. Berikutnya Forum Rektor yang merupakan jaringan pemantau pemilu yang dibentuk oleh rektor Universitas Trisakti dan Institut Teknologi Bandung pada 7 November 1998. Ide Forum Rektor tercetus setelah diadakannya konferensi rektor yang diikuti oleh 174 rektor di seluruh Indonesia. Forum ini tak hanya memantau di pemungutan suara, namun juga mengampu program pendidikan pemilih dan tabulasi hasil pemilu dengan cara paralel (Amalia Salabi, 2020).
Pemilu 1999 adalah pemilu pertama Era Reformasi, dimana harapan dan partisipasi rakyat sangat tinggi. Sebanyak 48 Partai politik menjadi peserta pemilu, sebanyak (118,2 juta) pemilih dan yang memilih (116,3 juta) dengan partisipasi pemilih 98,4% pada pemilu 1999 (Miriam Budiardjo, 2008). Pada kondisi dan hasil yang demikian, maka kampus telah memberikan yang terbaik terkait peran pemantauan dan Pendidikan politik. Bigitu juga pemilu 2004, adalah dikampus ITB kampanye yang dilakukan beberapa partai politik.
Keterlibatan kampus tidak hanya sebatas pemantauan pemilu, pada pemungutan suara, penghitungan suara dan tabulasi hasil pemilu, akan tetapi juga wadah pendidikan politik pemilih. Pendidikan politik bagi masyarakat atau pemilih akan membawa pendewasaan politik dan cerdas dalam menentukan pilihan. Inilah fungsi penting kampus sebagai pembentuk pengetahuan, perilaku dan sikap politik warga yang rasional dan terukur.
Pasca pemilu Era Reformasi 1999, peran kampus sebagai kaum terpelajar semakin menurun, baik peran kampus dalam kancah politik nasional maupun local meredup seiring redupnya nilai-nilai demokrasi. seperti apa yang disebut Pemilihan umum sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat seolah-olah lepas tanpa kendali dan tanpa partisipasi kampus. Kampus sekalipun melibatkan diri dalam pemilu dan politik hanya bersifat masing-masing, tanpa menjadikan pemilu sebagai upaya bersama untuk menyelamatkan demokrasi, bangsa dan rakyat Indonesia.
Dua dasawarsa terakhir terkait perjalan politik kebangsaan menunjukkan bahwa kampus sebagai Candradimuka perubahan social politik telah terjebak pada kerja-kerja rutinitas, disibukkan dengan persoalan-persoalan internal, terbuai dengan kemegahan gedung dan hasil riset serta menjadi “Menara gading” yang terpisah jauh dengan problem-problem kebangsaan dan kemasyarakatan serata pengabaian terhadap hak-hak politik masyarakat dalam proses pemilihan umum.
Namun sejalan dengan itu, ada ruang baru yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan tempat pendidikan seperti universitas menjadi lokasi kampanye bagi peserta pemilu 2024. Oleh beberapa kalangan keputusan tersebut dinilai tepat lantaran tempat pendidikan utamanya kampus dianggap menjadi lokasi yang cocok untuk menguji gagasan para peserta pemilu. Anggota Komisi II DPR RI A.A Bagus Adhi Mahendra Putra mengapresiasi putusan MK ini sebagai langkah cerdas dalam mengantisipasi semakin tingginya anak muda yang apatis terhadap politik, dengan demikian kampanye di kampus merupakan langkah mengantisipasi apatisme di kalangan kaum terpelajar. (28-08-2023/Komisi II).
Begitu juga dengan peraturan dibuat oleh Penyelenggra Pemilu melalui peraturan KPU nomor 20 tahun 2023 yang mengatur kententuan kampanye di kampus. Ruang kontestasi politik dirumah kaum terpelajar (kampus) adalah fasilitas Pemerintah yang digunakan sepanjang tidak mengakibatkan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan terganggu fungsi atau peruntukannya, serta tidak melibatkan anak. Kampanye yang dibolehkan adalah pertemuan terbatas dan tatap muka, dengan demikian ruang dialogis yang paling tepat dilakukan oleh peserta pemilu dan warga kampus.
Kontestasi politik yang dimainkan oleh peserta pemilu melalui kampanye ditempat kaum terpelajar tidak hanya memberi sebagaimana menawarkan visi, misi, program dan cintra diri, tetapi juga menampung gagasan-gagasan cerdas dari sivitas akademika. Tujuan kampanye adalah untuk perubahan terkait aspek pengetahuan (Knowledge), sikap (attitude), dan perilaku (behavioral) (Efriza, 2012). Pada tahap ini tawaran-tawaran terkait perubahan penghidupan dari semua lini, baik ekonomi, budaya, Pendidikan, politik maupun kesejahteraan masyarakat oleh peserta pemilu akan menjadi perhatian dan dapat mempengaruhui audien yang mengikuti kampanye.
Kontestasi ide/gagasan yang dialogis dengan melibatkan kaum terpelajar akan bernuansa obyektif dan rasional, seperti program kerja, target-target pencapaian dan proritas pembangunan akan terlihat dan teranalisa secara obyektif dan rasional, sehingga penerimaan dari apa yang ditawarkan dapat diterima dengan elegan, begitu juga dengan kritik yang terjadi adalah kritik yang konstuktif sebagai suatu masukan yang patut diapresiasi oleh peserta pemilu.
Kampanye di kampus tidak hanya sebatas kontestasi gagasan, tetapi juga pendewasaan politik dengan mengedepankan etika politik bagi masing-masing kontestan dan sivitas akademika, sehingga perdebatan-perdebatan yang santun dan elok akan menjadi contoh bagi masyarakat secara umum.
Kampanye di kampus, apabila dikelola dengan baik sesuai aturan dengan mengedepankan nilai-nilai intelektual dan kesadaran bersama dari masing-masih peserta pemilu dan warga kampus, maka kampanye tersebut dapat memanimalisir persoalan-persoalan yang menghimpit Pemilu seperti; politik uang, politik identitas, hoaks, intimidasi kekuasaan, kampanye hitam, penggunaan fasilitas negara, pelibatan ASN dan pejabat negara dalam kampanye.
Dengan demikian kontestasi politik melalui kampanye dengan keteribatan kampus akan menjadi kontestasi yang positif dalam membangun demokrasi yang berkualitas melalui pemilu yang fair dan sesuai dengan azas pemilu yang luber dan jurdil. Wassalam