Oleh : Dr. Noviardi Ferzi*
Mereka yang menguasai data adalah orang yang menguasai dunia. Siapa yang menguasai data suatu negara, dia yang menguasai negara.
Dalam dunia digital, data dapat berupa Artificial Intelligence (AI) dan Big Data analitik. Hari ini data sebagai kekayaan jenis baru (the new gold), keunggulan komparatif yang dapat diolah menjadi kekuatan (power) ekonomi dan politik.
Era digital adalah era data. Siapa yang menguasai data, maka dia menguasai permainan (game). Dalam politik juga hal ini berlaku. Data mempunyai nilai (value) lebih dari emas, atau disebut dengan The New Gold is Data, emas baru adalah data.
Dalam ranah elektoral, sebuah partai politik atau sorang politisi hari ini harus memiliki kedaulatan data (data sovereignty). Masa depan sebuah kekuasaan politik, bisa dibaca atau dilihat berdasarkan data-data yang dikumpulkan.
Bisa dibayangkan, jika sebuah partai hari ini tidak memiliki basis data keanggotaan, pasti akan kesulitan. Padahal KPU menetapkan ini sebagai persyaratan sebagai peserta pemilu. Betul, kerja data masih bisa dilakukan secara manual, namun prosesnya tetap saja dilakukan secara daring, melalui aplikasi yang diwajibkan KPU (Sipol dan Silon).
Bukan hanya itu partai yang tidak memiliki data anggota, dipastikan tidak memiliki arah pembinaan, upaya - upaya konsolidasi yang efisien, efektip dan terukur. By name by address, by phone, by hobby, by trend. Semua karakteristik ini akan mudah dilakukan jika berbasis big data.
Dalam strategi politik penting untuk mengatur pergerakan (flow) data. selama pergerakan data masih ada di internal politik, maka data itu harus berada di dalam kendali kekuatan di politik.
Prediksi berbasis big data ini dapat digunakan dalam Pilkada maupun Pemilu, termasuk di Jambi. Media sosial tidak menentukan pemenang elektoral, tapi ia mampu mendisrupsi masyarakat dalam menentukan pilihan.
Data di media daring dan percakapan di media sosial menjadi sumber berharga bagi penentu perumusan strategi kampanye dan prediksi pemilu. Data-data ini tak berarti apa-apa jika belum terolah. Artificial intellegent adalah sistem yang kemudian mampu mengolah big data untuk kepentingan politik elektoral.
Sistem ini memungkinkan kita mengetahui siapa yang paling popular, siapa yang ekspos negatif lebih tinggi, siapa yang paling banyak dibicarakan, siapa yang menguasai wacana.
Untuk itu partai politik harus melek akan kerja intelijen media yang berfungsi untuk monitoring isu, mendekteksi dini, prioritas kasus, analisis aktor, dan database profile.
Berdasarkan pengamatan dari media daring selama rentang 10 tahun sejak 2012 bahwa terdapat enam kriteria utama yang menjadi kunci pemenangan pilkada. Kriteria-kriteria tersebut yakni media, persebaran nama kandidat, sentimen, konten isu, trend, dan arah populis.
Teknologi dan big data saat ini menjadi kata kunci dalam transformasi politik elektoral di Indonesia, termasuk di Provinsi Jambi. Data dapat menjadi pijakan untuk memprediksi hasil pemilihan umum dan daerah.
Terkait Pemilu 2024, misalnya, melalui intelijen media, di tahun 2022 ini mulai dapat terlihat nama-nama yang muncul untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur.
Melalui media yang paling banyak dibicarakan di media adalah Al Haris, kedua adalah Cek Endra, bedanya, Al Haris disorot karena jabatan Gubernurnya, sedangkan CE di catat karena Golkarnya. Disini harus kita akui partai kuning ini memiliki kerja media yang cukup baik.
Tokoh lain yang muncul adalah Sutan Adil Hendra atau SAH Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi Jambi, anggota DPR RI ini rutin muncul algoritmanya dalam mesin pencarian ataupun media sosial. Lalu setelahnya ada nama Fasha Walikota Jambi.
Di media daring ini, popularitas CE menyamai sosok Al Haris. Di level ini juga ada nama HBA tetua Jambi, mantan Gubernur serta anggota DPR dari Golkar, kemudian ada Walikota Fasha. Menyusul nama SAH, yang diikuti Fadhil Arief Bupati Batanghari dan H. Mashuri yang mendadak trending topik karena menjadi Ketua Demokrat.
Lalu, dengan ukuran ini, siapa yang berpotensi untuk maju? Jika melihat indikator media, persebaran nama kandidat, sentimen, konten isu, trend, dan arah populis pada percakapan yang terkait dengan Pilgub Jambi. Maka muncul nama Haris, Fasha dan Cek Endra. Artinya, big data memunculkan nama mereka, nama yang sesuai dengan faktual politik Jambi hari ini.
Untuk lebih akurat memang big data ini perlu dilengkapi hasil survei yang terukur. Sehingga ada kombinasi data yang teruji untuk mengukurnya, baik itu di udara (digital) maupun di darat (survei). Bersambung...
* Peneliti LKPR